Minggu, 21 Februari 2016

Simposium Nasional (Simnas) BKLDK 2016: Islam Rahmatan lil 'Alamiin Jalan Indonesia Menuju Adidaya Baru


Simposium Nasional (Simnas) BKLDK 2016: Islam Rahmatan lil 'Alamiin Jalan Indonesia Menuju Adidaya Baru
1. Kapitalisme-Liberalisme Sumber Problematika Pendidikan di Indonesia
2. Liberalisasi Pendidikan ditandai dengan disahkannya UU No. 12 tahun 2012 tentang Perguruan TInggi. UU ini telah mengubah perguruan tinggi layaknya perusahaan swasta oleh karena perguruan tinggi diberikan hak untuk menentukan kebijakan dan memiliki otonomi untuk mengelola pendidikan dan lembaganya baik akademik maupun non akademik (keuangan, dll). Semua ini berdampak pada melonjaknya biaya pendidikan.
3. Sebagai bukti adanya liberalisai pendidikan, UNPAD mensyaratkan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan sebesar Rp 2 juta ditambah Dana Pengembangan yang jumlahnya bervariasi antara Rp 12 juta (sastra daerah, sastra Perancis), Rp 57 juta (ekonomi akuntansi berbahasa Inggris) hingga Rp 177 juta (kedokteran).
4. Bukti lain, UGM mematok Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) terendah Rp 10 juta (Filsafat), Rp 50 juta (Ekonomi Akuntansi/Ekonomi Manajemen) hingga Rp 100 juta (Kedokteran); Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya mematok biaya masuk minimal senilai Rp 175 juta dari jalur mandiri; Unibraw mematok uang Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan (SPEP) bagi calon mahasiswa Fakultas Kedokteran sebesar Rp 155 juta. Sumbangan sebesar itu merupakan jalur mandiri.
5. Masalah tidak hanya terjadi pada pendidikan tinggi, pendidkan dasar dan menengah pun sarat permasalahan. Buktinya, demi menjamin kebebasan maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diatur secara sentralistik dan harus sebanyak mungkin bersifat otonom. Disinilah kita bisa tahu kenapa kurikulum nasional “dibonsai” dan penentuan materi serta muatan program makin banyak diserahkan kepada pihak sekolah. Sekolah yang menentukan buku materi pengajaran yang digunakan, yang dalam prakteknya banyak terjadi perselingkuhan dengan penerbit dengan imbalan tertentu.
6. Otonomi yang diberikan juga mencakup pendanaan. Akibat kapitalisme dan liberalisasi pendidikan, peran pendanaan oleh pemerintah harus makin berkurang dan sebaliknya pendanaan oleh masyarakat (orang tua siswa) makin besar. Sekolah berkualitas pun menjadi mahal. Akibatnya, terjadinya ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Orang miksin tidak bisa mendapat pendidikan berkualitas. Mereka tidak bisa mengembangkan potensi dirinya dan tetap terperangkap dalam kemiskinan. Masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Hanya orang menengah keatas yang bisa mengakses pendidikan berkualitas. Padahal sekolah seharusnya dapat menjadi pintu perbaikan taraf hidup bagi si miskin. Selain itu juga akan melanggengkan penjajahan.
7. Semua problem pendidikan yang terjadi saat ini bermuara pada diterapkannya kapitalisme-liberalisme dengan prinsip 4 kebebasan (perilaku, pendapat, beragama dan kepemilikan). Kapitalisme-liberalisme berlandaskan akidah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya pelajaran agama dan moral, misalnya, diajarkan di sekolah sekedar sebagai ilmu, bukan untuk dipedomani dan dijadikan panduan. Konon itu demi menjamin kebebasan.
8. Pendidikan dalam sistem kapitalisme-liberalisme tidak ditujukan membentuk kepribadian. Pendidikan justru dijadikan penopang mesin kapitalisme dengan diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian. Akibatnya kurikulum disusun lebih menekankan pada pengetahuan dan keahlian tapi kosong dari nilai-nilai agama dan moral. Pendidikan akhirnya hanya melahirkan manusia robotik, pintar dan terampil tapi tidak religius dan tak jarang culas.
9. Karena itu harus dilakukan reorientasi dan penataan kembali pendidikan mulai dari filosofi, tujuan dan kurikulum sampai ke manajemen pendidikan, metode pembelajaran, substansi pengajaran, pendanaan pendidikan, dan sebagainya. Pendidikan harus dibebaskan dari kapitalisme-liberalisme.

0 komentar:

Posting Komentar