Minggu, 21 Februari 2016

Orang Paling Merugi Amalnya

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat (TQS al-Kahfi [18]: 103-105).
Memahami status perbuatan merupakan perkara amat penting. Kesalahan pemahaman akan berakibat fatal. Karena dianggap baik, suatu perbuatan giat diamalkan. Sebaliknya, karena dianggap buruk, suatu perbu-atan diabaikan, bahkan disingkirkan dari kehidupan. Betapa fatalnya jika anggapan itu salah. Suatu perbuatan yang dianggap baik, justru merupakan perbuat-an yang buruk. Atau sebaliknya, perbuatan yang dianggap buruk, kenyataannya adalah perbuatan yang baik. Menjadi kian fatal jika kesalahan identifikasi itu berkonsekuensi di akhirat. Neraka bisa menjadi tempat kembalinya. Itu terjadi, sungguh merupakan penyesalan tak bertepi. Agar tidak menimpa kita, kiranya penting bagi kita mendalami kandungan ayat di atas.
Salah Identifikasi
Allah SWT berfirman: Qul hal Nunabbikum bi al-akhsarîna a'mâl[an] (katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepada-mu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah SAW. Beliau diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya mengenai orang yang paling merugi amalnya. Ada sebagian mufassir menyatakan bahwa kaum yang diberitakan itu adalah kaum Musyrik Makkah. Ada juga yang berpendapat, mereka adalah Yahudi atau Nasrani. Karena lafadznya bersifat umum, dalam ayat 105-106 juga disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang kafir, tanpa ada pem-batasan atau pengkhususan, maka ayat ini berlaku umum untuk semua orang kafir.
Dalam ayat disebutkan bahwa mereka bukan hanya al-khâsirîn (merugi), namun al-akh-sarîn (paling merugi) amalnya. Dalam Alquran, kata al-khusr (kerugian) atau al-rabah (keber-untungan) berdimensi ukhrawi. Sehingga, betapa pun besarnya keuntungan didapatkan dunia, namun jika di akhirat berakibat dosa, siksa, dan neraka, maka itu adalah kerugian. Berkaitan dengan konsep kerugian ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT: Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata (TQS al-Zumar [39]: 15). Dimensi ukhrawi ini pula yang dimaksud ayat ini menge-nai orang yang paling merugi.
Ayat berikutnya kemudian memberikan penjelasan mengenai orang yang paling merugi itu. Allah SWT berfirman: al-ladzîna dhalla sa'yuhum fî al-hayâh al-dun-yâ (yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini). Menurut al-Syaukani, kata dhalâl al-sa'y bermakna buthlânuhu wa dhiyâ-'uhu (sia-sia dan hilangnya amal). Ditegaskan al-Alusi, sia-sia dan lenyapnya amal secara keseluruhan itu di sisi Allah. Dan itu terjadi karena amal yang mereka kerjakan—sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir—adalah amal yang batil, tidak didasarkan syariah, tidak disyariahkan, tidak diridhai, dan tidak diterima.
Kendati amal mereka batil dan tidak bersandar kepada syariah, namun mereka me-nyangka sebaliknya. Allah SWT berfirman: wahum yahsabûna annahum yuhsinûna shun'[an] (sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya). Artinya, mereka men-duga bahwa perbuatan batil yang mereka kerjakan itu adalah perbuatan yang baik (fi'l[an] hasan[an]). Demikian penjelasan al-Samarqandi dalam tafsirnya, Bahr al-'Ulûm. Sebuah perbuatan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang baik (al-fi'l al-hasan) manakala sejalan dengan syariah. Pelakunya juga menger-jakannya secara ikhas, semata karena untuk mendapat ridha-Nya. Persyaratan tidak ada dalam perbuatan mereka.
Salah sangka itu tentu membuat mereka menjadi orang paling rugi. Sebab, jika ada orang yang mengerjakan perbuatan buruk, dan dia juga meyakini bahwa itu adalah perbuatan buruk, maka masih terbuka kemungkinan untuk bertaubat. Namun jika dia tidak menganggap sebagai perbuatan buruk, taubat jelas tidak bisa diharapkan. Lebih parah lagi, jika ia menganggapnya sebagai perbuatan yang baik. Alih-alih bertaubat, pelakunya justru sangat mungkin mengorbankan segala yang dimiliki untuk memperjuangkan perbuatan batil itu. Tentu saja, dia amat merugi. Sebab, pengorbanan yang dilakukan justru berbuah dosa.
Akibat Ingkari Ayat Allah dan Kiamat
Mengapa mereka bisa mengalami kesalahan fatal mengidentifikasi baik atau buruknya suatu perbuatan? Ayat berikutnya memberikan jawab-annya. Allah SWT berfirman: Ulâika al-ladzîna kafarû bi âyâti Rabbihim waliqâihi (mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan [kafir terhadap] perjumpaan dengan Dia). Dijelaskan al-Jazairi, pengertian âyâti Rabbihim adalah Alquran dan semua yang yang terkandung di dalamnya, baik tauhid maupun hukum syara'. Telah maklum, Alquran merupakan petunjuk bagi seluruh manusia (lihat QS al-Baqarah [2]: 185). Di dalamnya terdapat panduan dalam menentukan baik atau buruk, terpuji atau tercela, halal atau haram. Manakala petunjuk dan panduan itu diingkari, niscaya dia akan salah dalam mengidentifikasi baik-buruknya suatu perbuatan.
Di samping Alquran, mere-ka juga mengingkari liqâihi (perjumpaan dengan-Nya). Al-Khazin menafsirkannya sebagai hari kebangkitan, pahala, dan dosa. Pengingkaran tersebut juga akan mengakibatkan salah identifikasi. Sebagaimana telah dipaparkan di muka, bahwa dimensi keberuntungan dan kerugian yang hakiki ukhrawi. Ketika akhirat diingkari, pene-tapan baik-buruk hanya akan didasarkan kalkulasi materi-duniawi. Dan itu tentu saja, pelakunya akan terjerumus pada kesalahan fatal.
Sebagai akibat dari kekufurannya: fahabithat a'mâlahum (maka hapuslah amalan-amalan mereka). semua amal mereka terhapus. Berkaitan dengan terhapusnya semua amal orang-orang kafir ini, di dunia dan akhirat, amat banyak ayat yang menjelaskannya. Selain ayat ini, penegasan serupa juga disebutkan dalam QS Ali Imran [3]: 22, al-Maidah [5]: 5, 53, al-A'raf [7]: 147, al-Taubah [9]: 17, 69. Muhammad [47]: 9, 32 dll. Demikian juga orang yang sebelumnya Muslim, lalu murtad dan mati dalam keadaan kafir, semua amalnya akan terhapus dan menjadi penghuni neraka selama-lamanya (QS al-Baqarah [2]: 216).
Allah SWT berfirman: falâ nuqîmu lahum yawm al-qiyâmah wazn[an] (dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi [amalan] mereka pada hari kiamat). Al-Wazn atau timbangan digunakan untuk menimbang baik-buruk, pahala-dosa. Siapa pun yang berat kebaikannya lebih berat, surga adalah tempatnya. Sebaliknya, jika kebaikannya lebih ringan, tempatnya adalah neraka (lihat QS al-Qari'ah [101]: 6-9). Penimbangan layak dilakukan kepada orang yang di dalam dirinya terdapat kebaikan dan keburukan. Ketika semua amal kebaikan terhapus tak tersisa, sebagaimana mereka, penimbangan tentu tidak perlu dilakukan.
Balasan setimpal atas sikap mereka tidak lain kecuali neraka Jahannam. Dalam ayat berikutnya, Allah SWT berfirman: Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok (TQS al-Kahfi [18]: 106). Tidak ada kerugian melebihi mereka.
Jelaslah, siapa saja yang tidak ingin menjadi orang yang paling merugi, wajib mengimani Alquran dan al-Sunnah, menjadikannya sebagai petunjuk dan panduan dalam beramal, dan menerapkannya dalam kehidupan. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.
==============================
Raih Amal Sholih dengan Ikut Serta Menyebarkan Status ini.
==============================
E-mail : forumintelektualmahasiswaislam@gmail.com
PIN BBM : 545D2A31
Contact Person (Humas FIMI) : Sinar [0823-2148-0478]
==============================

0 komentar:

Posting Komentar